Jakarta, CNBC Indonesia
Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) baru-baru ini membantah isu yang beredar mengenai akuisisi mayoritas saham bank swasta terbesar di Indonesia, PT Bank Central Asia (BBCA) Tbk. CEO Danantara, Rosan Roeslani, mengonfirmasi bahwa saat ini tidak ada rencana untuk melakukan aksi korporasi tersebut. "Enggak ada," ujarnya saat menghadiri acara di gedung DPR Jakarta, seperti yang dilansir pada Rabu (20/8).
Isu penjualan saham PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) berkaitan dengan penyelesaian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kembali mencuat. Beragam kalangan menyoroti isu ini, mengingat penjualan 51% saham BCA yang terjadi pada tahun 2002 silam dianggap menyebabkan kerugian negara hingga Rp87,99 triliun.
Analisis dari tulisan "Interpelasi BLBI Kasus BCA" oleh mendiang Kwik Kian Gie, mantan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, menyatakan bahwa BCA memiliki utang kepada negara, yang diakibatkan oleh dana BLBI yang disalurkan saat krisis moneter dan ekonomi 1997. Pada saat itu, BCA menerima bantuan senilai Rp31,99 triliun. Sebagai bentuk pelunasan, pemerintah mengambil sebagian saham BCA dari tangan keluarga Salim.
Dari utang tersebut, BCA telah melunasi cicilan utang pokok sebesar Rp8 triliun dan bunga Rp8,3 triliun. Sisa utang BLBI tercatat mencapai sekitar Rp23,99 triliun, mencakup lebih dari 90% dari nilai saham BCA pada saat itu. Kemudian, untuk menyehatkan BCA, pemerintah menginjeksi Obligasi Rekapitalisasi Perbankan (OR) sebesar Rp60 triliun.
Namun, ketika BCA dijual ke Farallon dengan harga hanya Rp10 triliun, kerugian pemerintah tercatat mencapai Rp78 triliun. Kwik juga menyoroti kredit Rp52,7 triliun yang diambil oleh Grup Salim di BCA, yang kini beralih menjadi utang kepada pemerintah ketika 92,8% saham BCA dimiliki oleh negara.
Dalam prakteknya, keluarga Salim tidak memiliki dana tunai untuk menyelesaikannya. Sehingga, utang dibayar dengan skema Pelunasan Kewajiban Pemegang Saham (PKPS), berupa kesepakatan untuk menyelesaikan utang dengan uang tunai sebesar Rp100 miliar dan 108 perusahaan. Penilaian untuk 108 perusahaan itu menyebutkan angka Rp51,9 triliun, sehingga utang Grup Salim ke BCA dianggap lunas. Namun, menurut penilaian dari Price Waterhouse Coopers (PwC), nilai skema tersebut hanya mencapai Rp20 triliun.
Kendati terdapat perbedaan valuasi tersebut, pemerintah akhirnya menerima Rp20 triliun sebagai pelunasan utang keluarga Salim, dengan recovery rate sekitar 34% dari total nilai.
Pada tahun 2002, Presiden Megawati setuju untuk menjual 51% saham BCA kepada publik. Perusahaan Investasi asal AS, Farallon, berhasil memenangkan tender dengan nilai transaksi sekitar US$530 juta atau Rp10 triliun.
Sekitar tahun 2007, Grup Djarum akhirnya menguasai BCA sepenuhnya dengan membeli 92,18% dari saham Farallon di Farindo Investment.
Respons BCA
Menanggapi kabar yang simpang siur mengenai akuisisi BCA oleh Grup Djarum dari Grup Salim, Corporate Secretary BCA, I Ketut Alam Wangsawijaya, menjelaskan bahwa pembelian 51% saham BCA dengan nilai hanya sekitar Rp5 triliun diduga melanggar hukum. Ia menegaskan bahwa nilai pasar BCA saat itu dinilai sekitar Rp117 triliun, informasi yang dinilai tidak benar. "Angka Rp117 triliun yang disebutkan merujuk pada total aset, bukan nilai pasar perusahaan. Nilai pasar ditentukan oleh harga saham perusahaan di bursa efek," tuturnya.
Ketut menambahkan bahwa ketika transaksi strategis private placement dilakukan, nilai pasar BCA didasarkan pada harga saham rata-rata yang beredar di Bursa Efek Indonesia dan hanya sekitar Rp10 triliun. Dengan perkiraan tersebut, akuisisi 51% oleh konsorsium FarIndo sebenarnya mencerminkan kondisi pasar saat itu.
Namun, manajemen BCA juga membantah informasi terkait utang kepada negara sebesar Rp60 triliun yang diangsur Rp7 triliun setiap tahun.
"Di dalam neraca, BCA tercatat memiliki aset obligasi pemerintah senilai Rp60 triliun, dan seluruhnya telah diselesaikan pada tahun 2009 sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku," tutup Ketut.
Sumber: www.cnbcindonesia.com