Gejolak Timur Tengah Picu IHSG Turun Tajam 1,7% di Sesi Pertama
Selasa, 24 Juni 2025Berita Pasar Saham

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tertekan hingga 1,7% pada sesi pertama perdagangan hari ini, terdampak ketegangan geopolitik di Timur Tengah dan kekhawatiran inflasi dari lonjakan harga minyak.

Pergerakan IHSG di Bursa Efek Indonesia Foto: Layar menampilkan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta.


Jakarta, CNBC Indonesia – IHSG di awal perdagangan Senin (23/6/2025) terpukul cukup dalam, turun 1,7% atau 117,43 poin ke posisi 6.789,71. Dari total 795 saham yang diperdagangkan, 538 saham melemah, 124 saham menguat, dan 133 saham stagnan. Nilai transaksi sesi I cukup besar, mencapai Rp 7,54 triliun dari 13,19 miliar saham yang diperdagangkan dalam 807.285 kali transaksi. Kapitalisasi pasar pun ikut tergerus menjadi Rp 11.908 triliun.

Kenapa IHSG bisa terkapar? Jawabannya simpel: pasar sedang ketakutan. Gejolak geopolitik di Timur Tengah makin panas setelah Amerika Serikat melancarkan serangan ke tiga lokasi nuklir di Iran, dan ini memicu ketidakpastian pasar global.

Semua sektor minus

Mengutip data Refinitiv, seluruh sektor di bursa berada di zona merah. Yang terdalam adalah sektor utilitas yang anjlok 4,13%, diikuti properti turun 3,11%, dan energi yang turun 2,47%. Ini tanda jelas bahwa sentimen risk-off sedang dominan, artinya pelaku pasar lebih memilih menarik dana dan menghentikan risiko.

Saham-saham pemberat IHSG

Saham tambang Sinar Mas DSSA menjadi penyumbang penurunan terbesar, anjlok 5,83% dan menggerus IHSG sebanyak 13,36 poin. Saham energi terbarukan BREN juga ikut menekan, memberikan kontribusi penurunan hingga 10,45 poin. Tak ketinggalan, saham perbankan BBRI juga memberi sumbangan negatif sekitar 9,18 poin pada indeks.

Geopolitik memanas di Timur Tengah

Dampak terbesar datang dari keputusan Presiden AS Donald Trump yang mengkonfirmasi serangan militer ke tiga situs nuklir Iran di Fordow, Natanz, dan Isfahan menggunakan pesawat pembom B-2, yang dikatakan "sangat sukses." Langkah ini memperlebar konflik Israel-Iran yang sudah berlangsung, dan dengan AS ikut campur, risiko eskalasi menjadi sangat tinggi.

Iran merespons dengan berpotensi menutup Selat Hormuz, jalur utama pengiriman minyak dunia yang menghubungkan Teluk Persia ke laut lepas. Penutupan jalur ini bisa menghentikan sekitar 20% pasokan minyak dunia dan 30-35% pasokan LNG global. Bahkan, Iran juga menguasai jalur pelayaran laut Merah yang penting untuk perdagangan energi.

Implikasi pada harga minyak dan inflasi global

Para analis memproyeksikan harga minyak akan melonjak drastis jika Selat Hormuz benar-benar ditutup. Macquarie memperkirakan harga bisa menyentuh US$ 240 per barel dengan gangguan pasokan hingga 15 juta barel per hari. Sementara itu, Bloomberg dan Goldman Sachs memprediksi harga minyak naik ke kisaran US$ 130 per barel.

Kenaikan harga minyak ini tidak hanya bikin kantong konsumen makin tipis, tapi juga memicu inflasi global yang makin membara. Di AS, inflasi diperkirakan melonjak hingga 3,9% secara tahunan, yang tentu saja membuat The Fed semakin hawkish alias memperkuat sikap menaikkan suku bunga.

Dampak ke pasar finansial dan investasi

Situasi ini membuat pasar kembali ke modus risk-off, dengan perhatian berbalik ke aset-aset yang sensitif terhadap energi dan komoditas, serta aset safe haven seperti emas. Jadi, jangan heran jika investor mulai memburu pelindung nilai di tengah ketidakpastian geopolitik dan tekanan inflasi.

Kesimpulan

IHSG yang alami penurunan 1,7% di sesi pertama ini jadi gambaran nyata bagaimana pasar merespons cepat perkembangan global yang penuh ketidakpastian. Investor perlu tetap waspada dan selektif di tengah risiko yang terus mengintai, terutama akibat ketegangan geopolitik dan kemungkinan lonjakan harga energi.


(mkh/mkh)