Foto: Layar menampilkan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Senin (23/6/2025). (CNBC Indonesia/ Faisal Rahman)
Jakarta, CNBC Indonesia – Perdagangan hari Rabu (25/6/2025) berakhir di zona merah untuk Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Meski sempat optimis pascapembukaan, indeks akhirnya turun 0,54% atau 37 poin ke posisi 6.832,14.
Sepanjang sesi, sebanyak 401 saham ditutup di bawah harga pembukaan, 212 naik, dan 186 stagnan. Transaksi melibatkan 22,46 miliar saham dengan nilai mencapai Rp 12,64 triliun dan total 1,19 juta kali transaksi. Kapitalisasi pasar juga menyusut mendekati level Rp 12.000 triliun tepatnya menjadi Rp 12.024,52 triliun.
Uniknya, penurunan IHSG kali ini justru kontras dengan reli indeks saham di bursa Asia lainnya. Nikkei Jepang mencatat kenaikan 0,39%, Shanghai 1,04%, dan Kospi Korea Selatan 0,15%.
Sektor Teknologi Jadi Penyelamat
Melansir data Refinitiv, mayoritas sektor saham domestik berkontribusi negatif terhadap IHSG. Hanya sektor teknologi yang mampu bertahan dengan kenaikan 0,82%. Lonjakan ini salah satunya didorong oleh sentimen positif saham DCII yang naik 2,26% dan GOTO melonjak 3,51%.
Saham Bank dan Tambang Jadi Pemberat
Sementara itu, saham-saham perbankan besar mengalami tekanan cukup berat. Bank Mandiri (BMRI) dan Bank Central Asia (BBCA) memberikan kontribusi penurunan terbesar terhadap indeks masing-masing sebesar 12,77 poin dan 11,93 poin. Bank Rakyat Indonesia (BBRI) juga turun 0,53%, menyumbang minus 3,05 poin.
Tak hanya bank, sektor tambang dan energi juga menambah tekanan pada IHSG. Saham seperti Merdeka Copper Gold (MDKA), Bayan Resources (BYAN), Aneka Tambang (ANTM), Baramas Energi Sarana (BRMS), dan Multi Bintang Indonesia (MBMA) melemah. Bahkan, saham TPIA yang sebelumnya mencetak lonjakan signifikan, turut menyeret IHSG ke zona merah hari ini.
Sentimen Global Mulai Mereda
Pada panggung global, ketegangan mulai mereda setelah Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mengumumkan gencatan senjata antara Iran dan Israel. Namun, The Federal Reserve (The Fed) memberi sinyal bahwa suku bunga acuan belum akan turun dalam waktu dekat.
Gubernur The Fed, Jerome Powell, dalam kesaksian di hadapan Komite Jasa Keuangan DPR AS pada Selasa malam waktu Indonesia (24/6/2025), menuturkan bahwa keputusan menurunkan suku bunga masih menunggu kepastian dampak ekonomi dari kebijakan tarif yang sedang digodok oleh pemerintah AS.
“Dampak dari tarif akan bergantung, antara lain, pada seberapa besar akhirnya tarif itu diterapkan,” jelas Powell.
Dia menambahkan bahwa saat ini The Fed memilih untuk menunggu dan melihat perkembangan ekonomi sebelum melakukan penyesuaian kebijakan.
Drama Trump dan Gencatan Senjata yang Rentan
Meski sudah ada pengumuman gencatan senjata, hubungan antara Iran dan Israel masih panas. Beberapa jam setelah pengumuman tersebut, Donald Trump justru mengungkapkan kekecewaannya lewat platform Truth Social. Trump menuduh kedua negara saling melanggar perjanjian damai yang baru dibuat, khususnya Israel yang disebutnya meluncurkan serangan besar ke Teheran.
"Israel. Jangan jatuhkan bom-bom itu. Jika kalian melakukannya, itu pelanggaran besar. Bawa pulang pilot kalian, sekarang juga!"
Trump bahkan menyatakan bahwa usahanya untuk menenangkan Israel terganggu oleh serangan yang menurutnya merupakan "serangan terbesar yang pernah kita lihat." Ia menyatakan, "Iran dan Israel telah bertarung begitu lama dan begitu keras hingga mereka bahkan tidak tahu apa yang sedang mereka lakukan."
Apa Maknanya untuk Investor?
Pasar saham dalam negeri menunjukkan sinyal kewaspadaan hari ini. Pelemahan saham bank dan tambang, yang biasanya jadi tulang punggung IHSG, menjadi peringatan bagi investor agar selektif. Namun, kenaikan sektor teknologi bisa menjadi sudut pandang positif bahwa ada potensi pertumbuhan di sektor ini yang layak diperhatikan.
Yang menarik, sentimen global mulai stabil tapi tetap dinamis. The Fed yang belum mau memangkas suku bunga membuat pasar tetap hati-hati, apalagi di tengah ketegangan geopolitik yang belum sepenuhnya usai.
Investasi di pasar saham Indonesia mungkin butuh strategi yang lebih fleksibel, fokus pada sektor yang berpotensi bertumbuh dan waspada terhadap risiko yang muncul dari sentimen global dan kebijakan ekonomi AS.
(mkh/mkh)